Jumat, 12 Februari 2010

Dokumen Resmi th.1958 dengan Tanda Tangan Jenderal A.H. Nasution ketika menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD)

 

  
Bagian atas 

Bagian bawah
 
Tanda Tangan 

 
Foto kuno asli Jend. A.H. Nasution ukuran besar

Dokumen Resmi th.1958 dengan Tanda Tangan Jend. A.H. Nasution
ketika menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Juga termasuk Foto kuno asli ukuran besar, dicetak pada kertas foto jadul 
yang tebal seperti kertas karton.
Ukuran Foto: 24 cm x 18 cm (kurang lebih ukuran 8R)

Jenderal Besar A.H. Nasution
Gaya hidup bersahaja dibawa Jenderal Besar A.H. Nasution sampai akhir hayatnya, 
6 September 2000. Ia tak mewariskan kekayaan materi pada keluarganya, 
kecuali kekayaan pengalaman perjuangan dan idealisme. 
Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, tak pernah direnovasi. 
Namun Tuhan memberkatinya umur panjang, 82 tahun.

Pria Tapanuli ini lebih menjadi seorang jenderal idealis yang taat beribadat. 
Ia tak pernah tergiur terjun ke bisnis yang bisa memberinya kekayaan materi. 
Kalau ada jenderal yang mengalami kesulitan air bersih sehari-hari di rumahnya, 
Pak Nas orangnya. Tangan-tangan terselubung memutus aliran air PAM ke rumahnya, 
tak lama setelah Pak Nas pensiun dari militer. 
Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, keluarga Pak Nas terpaksa membuat sumur di belakang rumah. Sumur itu masih ada sampai sekarang.

Memang tragis. Pak Nas pernah bertahun-tahun dikucilkan dan dianggap sebagai 
musuh politik pemerintah Orba. Padahal Pak Nas sendiri menjadi tonggak lahirnya Orba. Ia sendiri hampir jadi korban pasukan pemberontak yang dipimpin Kolonel Latief. Pak Nas-lah yang memimpin sidang istimewa MPRS yang memberhentikan Bung Karno dari jabatan presiden, tahun 1967.

Pak Nas, di usia tuanya, dua kali meneteskan air mata. 
Pertama, ketika melepas jenazah tujuh Pahlawan Revolusi awal Oktober 1965. 
Kedua, ketika menerima pengurus pimpinan KNPI yang datang ke rumahnya 
berkenaan dengan penulisan buku: Bunga Rampai TNI, Antara Hujatan dan Harapan.

Apakah yang membuatnya meneteskan air mata? 
Sebagai penggagas Dwi Fungsi ABRI, Pak Nas ikut merasa bersalah, konsepnya dihujat karena peran ganda militer selama Orba yang sangat represif dan eksesif. 
Peran tentara menyimpang dari konsep dasar, lebih menjadi pembela penguasa ketimbang rakyat.

Pak Nas memang salah seorang penandatangan Petisi 50, musuh nomor wahid penguasa Orba. Namun sebagai penebus dosa, Presiden Soeharto, selain untuk dirinya sendiri, memberi gelar Jenderal Besar kepada Pak Nas menjelang akhir hayatnya. Meski pernah “dimusuhi” penguasa Orba, Pak Nas tidak menyangkal peran Pak Harto memimpin pasukan Wehrkreise melancarkan Serangan Umum ke Yogyakarta, 1 Maret 1949.

Pak Nas dikenal sebagai peletak dasar perang gerilyamelawan kolonialisme Belanda. Tentang berbagai gagasan dan konsep perang gerilyanya, Pak Nas menulis sebuah buku fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare.

Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, jadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite bagi militer dunia, West Point Amerika Serikat (AS). Dan, Pak Nas tak pernah mengelak sebagai konseptor Dwi Fungsi ABRI yang dikutuk di era reformasi. Soalnya, praktik Dwi Fungsi ABRI menyimpang jauh dari konsep dasar.

Jenderal Besar Nasution menghembuskan nafas terakhir di RS Gatot Subroto, 
pukul 07.30 WIB (9/9-2000), pada bulan yang sama ia masuk daftar PKI untuk dibunuh. 
Ia nyaris tewas bersama mendiang putrinya, Ade Irma, ketika pemberontakan PKI (G-30-S) meletus kembali tahun 1965. Tahun 1948, Pak Nas memimpin pasukan Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI di Madiun.

Usai tugas memimpin MPRS tahun 1972, jenderal besar yang pernah 13 tahun 
duduk di posisi kunci TNI ini, tersisih dari panggung kekuasaan. 
Ia lalu menyibukkan diri menulis memoar. Sampai pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangan Pak Nas telah beredar. Kelima memoarnya, Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. 
Dua lagi memoarya, Masa Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan, 
sedang dalam persiapan. Masih ada beberapa bukunya yang terbit sebelumnya, 
seperti Pokok-Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid).

Pengagum Bung Karno di masa muda, setelah masuk di jajaran TNI, 
Pak Nas acapkali akur dan tidak akur dengan presiden pertama itu. 
Pak Nas menganggap Bung Karno campur tangan dan memihak ketika terjadi pergolakan di internal Angkatan Darat tahun 1952. 
Ia berada di balik ''Peristiwa 17 Oktober'', yang menuntut pembubaran DPRS 
dan pembentukan DPR baru. Bung Karno memberhentikannya sebagai KSAD.

Bung Karno akur lagi dengan Pak Nas, lantas mengangkatnya kembali sebagai KSAD 
tahun 1955. Ia diangkat setelah meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta. 
Pak Nas dipercaya Bung Karno sebagai co-formatur pembentukan Kabinet Karya 
dan Kabinet Kerja. Keduanya tidak akur lagi usai pembebasan Irian Barat 
lantaran sikap politik Bung Karno yang memberi angin kepada PKI.

Namun, dalam situasi seperti itu Pak Nas tetap berusaha jujur kepada sejarah 
dan hati nuraninya. Bung Karno tetap diakuinya sebagai pemimpin besar. 
Suatu hari tahun 1960, Pak Nas menjawab pertanyaan seorang wartawan Amerika, 
''Bung Karno sudah dalam penjara untuk kemerdekaan Indonesia, 
sebelum saya faham perjuangan kemerdekaan.'' 
Sumber: http://www.tokohindonesia.com

Untuk melihat gambar yang lebih besar / lebih jelas,
click pada gambar yang akan dilihat.

Keterangan lebih lanjut mengenai pembelian, pengiriman barang,
cara pembayaran dll. silahkan hub. e-mail: neneng1971@yahoo.com
atau 0813.1540.5281
Sudah Terjual

Tidak ada komentar:

Posting Komentar